Ada penelitian yang menyimpulkan bahwa berpikir bukanlah
mengharuskan pemikir memiliki inisiatif. Berpikir adalah upaya membiarkan
sesuatu yang dipikirkan itu menjadi tampak sebagaimana adanya, tanpa memaksakan
kategori-kategori pemikir pada sesuatu apa yang dipikirkan. Kenyataanlah yang
menjadi pemegang inisiatif. Bukan pemikir yang menunjuk kenyataan, melainkan
kenyataan-kenyataan itu sendiri yang mempertemukan dirinya dengan pemikir
bersangkuatan.
Konsepsi tersebut jelas merupakan suatu arah kebalikan dari apa
yang biasa terjadi pada bentuk berpikir (deduktif) untuk menguasai apa yang dipikirkan. Itu tampil dengan
pelbagai kategori legitimasi dan dogma-preskriptif. Berpikir-membayangkan,
berpikir-menghitung, berpikir-menjelaskan adalah bentuk-bentuk berpikir yang
khas dalam pemikiran gaya netralitas-nilai (ilmu-ilmu pasti alam) sebagai
pemikiran ilmiah positivistik. Pertanyaan yang penting diajukan apakah berpikir
hanya terikat pada pola deduktif-induktif-argumen-kumulatif. Berpikir yang
sesungguhnya bukanlah menggambarkan sesuatu yang ada di depan mata pemikir. Berpikir
yang sebenarnya adalah berpikir tidak konseptual. Pikiran adalah sesuatu yang
menerpa menjumpai pemikir manakala Ada, being,
(yakni Das Sein, yang dibedakan
dengan tegas dari Das Seiende)
mengungkapkan dirinya pada pemikir. Fakta bukalah sekedar fakta, melainkan “kisah”,
bagaimana fakta itu maujud sebagaimana adanya.
Bila pemikiran tersebut di atas ditelaah lebih jauh, tidak
diragukan lagi akan memberikan masukan yang amat besar, yakni membuka
perspektif lebih luas, lebih kaya, lebih dalam, lebih lanjut bagi studi logika.
Dengan demikian, pembelajaran logika bukan sekedar studi tentang silogisme,
misalnya, bukan hanya studi tentang deduksi, induksi dan mengabaikan kenyataan
serta topografi pemikiran yang sesungguhnya. (Lihat Poespoprodjo, W. Logika Scientifika. Pustaka Grafika, Bandung,
1999).