Minggu, 10 April 2016

Apa itu Berpikir?



Ada penelitian yang menyimpulkan bahwa berpikir bukanlah mengharuskan pemikir memiliki inisiatif. Berpikir adalah upaya membiarkan sesuatu yang dipikirkan itu menjadi tampak sebagaimana adanya, tanpa memaksakan kategori-kategori pemikir pada sesuatu apa yang dipikirkan. Kenyataanlah yang menjadi pemegang inisiatif. Bukan pemikir yang menunjuk kenyataan, melainkan kenyataan-kenyataan itu sendiri yang mempertemukan dirinya dengan pemikir bersangkuatan.

Konsepsi tersebut jelas merupakan suatu arah kebalikan dari apa yang biasa terjadi pada bentuk berpikir (deduktif) untuk menguasai apa yang dipikirkan. Itu tampil dengan pelbagai kategori legitimasi dan dogma-preskriptif. Berpikir-membayangkan, berpikir-menghitung, berpikir-menjelaskan adalah bentuk-bentuk berpikir yang khas dalam pemikiran gaya netralitas-nilai (ilmu-ilmu pasti alam) sebagai pemikiran ilmiah positivistik. Pertanyaan yang penting diajukan apakah berpikir hanya terikat pada pola deduktif-induktif-argumen-kumulatif. Berpikir yang sesungguhnya bukanlah menggambarkan sesuatu yang ada di depan mata pemikir. Berpikir yang sebenarnya adalah berpikir tidak konseptual. Pikiran adalah sesuatu yang menerpa menjumpai pemikir manakala Ada, being, (yakni Das Sein, yang dibedakan dengan tegas dari Das Seiende) mengungkapkan dirinya pada pemikir. Fakta bukalah sekedar fakta, melainkan “kisah”, bagaimana fakta itu maujud sebagaimana adanya.  

Bila pemikiran tersebut di atas ditelaah lebih jauh, tidak diragukan lagi akan memberikan masukan yang amat besar, yakni membuka perspektif lebih luas, lebih kaya, lebih dalam, lebih lanjut bagi studi logika. Dengan demikian, pembelajaran logika bukan sekedar studi tentang silogisme, misalnya, bukan hanya studi tentang deduksi, induksi dan mengabaikan kenyataan serta topografi pemikiran yang sesungguhnya. (Lihat Poespoprodjo, W. Logika Scientifika. Pustaka Grafika, Bandung, 1999).

Praktika

Berdiskusilah tidak hanya dengan mereka yang sependapat atau sama pandangan, tetapi juga dengan mereka yang berlawanan pendapat.atau pandangan. Berilah keleluasaan orang yang berelawanan pandangan dengan anda mengutarakan pendapatnya. Cobalah anda pelajari sebaik mungkin bukan hanya tesisnya, melainkan juga argemen dan pemikirannya. Kemukakanlah kembali apa yang menjadi tesis dan argumen lawan diskusi anda. Usahakan untuk tidak mengubahnya, dan kemudian anda tidak menjadikan itu bahan tertawaan atau bahan ejekan, serta anda tidak hanya mengingat sudut-sudutnya yang lemah dari lawan diskusi anda. Adapun seni diskusi yang benar dan jujur bukanlah dari lawan debat anda. Seni berdiskusi yang benar jujur dan jujur bukanlah semacam "strategi". Bahkan, apabila anda mampu, perkuatlah argumen-argumen lawan diskusi anda tadi. Oleh karena itu, bagi anda tidaklah cukup kalau hanya memiliki bukti-bukti yang baik untuk tesis anda. Anda sebaiknya juga sanggup memperlihatkan argumen-argumen yang melawan tesis anda sendiri....

Sabtu, 09 April 2016

Apa itu Definisi dan Tujuannya?



Para pengrajin ilmu pengetahuan, utamanya peminat metodologi. 

Saya seringkali pada saat diskusi intelektual tertentu mempersoalkan atau bahkan berangkat dari definisi. Seakan jika istilah-istilah atau konsep-konsep yang digunakan orang-orang dalam suatu pembicaraan dan permasalahan jelas definisinya, pemahaman pokok bahasan itu tidak lagi terlalu sulit untuk dicapai dan didiskusikan upaya kesepahaman dan kesepakatan yang dapat disimpulkan secara hipotetis.

Sebetulnya berbicara mengenai definisi itu artinya kita masih berkisar dalam lingkungan perdebatan konseptual. Adapun perihal yang khas pada definisi itu adalah upaya mengeksplisitkan unsur-unsur isi (konprehensi) dalam satu atau lebih konsep. Pengetahuan menegnai hal-ikhwal konkrit yang de facto adalah pengetahuan yang bersifat intuitif atas hakekat suatu pokok masalah yang diperoleh secara fenomenologis. Itu secara definitorik perlu diterapkan atau ditegaskan dalam keseluruhannya yang lengkap melalui pengertian-pengertian abstrak sehingga ikhwal itu dapat terpakai dalam diskusi dan tukar-pikiran berkelanjutan.

Dalam proses diskusi dan membaca tidak jarang orang-orang menemukan kata-kata, istilah-istilah, konsep-konsep yang tidak memiliki kejelasan atau kepastian melalui konteksnya. Untuk memahami arti kata, istilah, konsep itu dibutuhkan definisi konseptual atau operasional sehingga dengan demikian tampak bahwa salah satu tujuan definisi adalah untuk menambah perbendaharaan bahasa bagi orang yang tidak cukup pengetahuan  pada pokok pembicaraan tersebut.

Di samping itu, tujuan definisi adalah untuk mengatasi jika tidak mungkin menghapuskan kedwiartian, kemenduaan-makna kata, istilah, konsep, utamanya untuk kata-kata kunci, supaya proses tukar-pikiran tidak mudah mengarah pada kesalahan berpikir dan itu tidak sekadar bersifat verbal. Pada pembicaraan lanjutan tentu kemungkinan sedikit pengetahuan tentang arti kata sudah dapat diatasi meskipun masih mungkin ketidakpastian batas-batas penerapannya. Nah, dalam hal itulah definisi amat perlu dikerjakan. 

Penggunaan kata-kata dari bahasa lokal (daerah) ke dalam bahasa nasional (persatuan) ternyata disertai pengembangan arti dan pengertian yang lain dari arti atau bahkan konotasi dari pengertian semula di lingkungan pengguna bahasa daerah. Tanpa definisi yang jelas dalam suatu pembicaraan yang serius hal itu akan mengundang kesalahpahaman di antara orang-orang. Demikian pula halnya banyak istilah dan konsep teknis ilmiah tidak jarang menggunakan kata-kata yang sama bentuk dan bunyinya dengan kata-kata dari bahasa pergaulan sehari-hari, tetapi sebagai bahasa ilmiah kata atau istilah-istilah itu telah diberi arti oleh pembicara. Untuk menghindari campuraduk kata-kata dalam bahasa awam dan ilmiah para peneliti dan ilmuwan penting menjelaskan arti yang secara teoretis dilekatkan pada kata-kata, istilah-istilah, konsep-konsep tersebut melalui definisi.
 
Demikianlah beberapa tujuan definisi. Secara praktis orang-orang kerapkali larut dan terbenam dalam kata-kata, istilah-istilah, konsep-konsep yang diterima begitu saja. Pemakaian kata, istilah, konsep yang tidak jelas sesuai tempatnya dapat menyebabkan kesalahapahaman dalam komunikasi. Pemakaian kata, istilah, konsep yang sama dengan arti yang berbeda dalam suatu ajang tukar-pikiran dapat memberikan kesan seolah-olah terjadi perlawanan pendapat, padahal yang sebenarnya terjadi adalah penggunaan proposisi-proposisi yang berbeda, bukan proposisi-proposisi yang berlawanan. Proposisi itu adalah suatu rangkaian penuturan (assertion) yang utuh. (Lihat Poespoprodjo, W. Logika Scientifika. Pustaka Grafika, Bandung. 1999).

Selasa, 05 April 2016

PILSUNG REKTOR

-->
Para anggota MILIS yang terhormat,

Pada dasarnya, Pemilihan pemimpin Universitas secara langsung (baik pada tingkat universitas maupun pada level fakultas-fakultas) PILSUNG itu enak didengar namun tidak cukup enak untuk direalisasikan. PILSUNG adalah tradisi atau sistem seleksi calon pemimpin yang telah berkembang dalam masyarakat yang sudah relatif lebih rasional. Tidak hanya berlaku untuk masyarakat modern di negara-negara maju, tetapi juga berlaku dalam masyarakat yang sedang berkembang seperti negara kita. Universitas Indonesia (UI) adalah salah satu dari itu. UI sudah lebih dari satu kali menyelenggarakan PILSUNG untuk REKTOR dan juga DEKAN pada tingkat Fakultas.
Saya tahu persis bagaimana PILSUNG FISIP-UI ketika saya masih belajar di sana beberapa tahun yang lalu, tepatnya ketika REKTOR UI sekarang (Gumilar Soemantri) ikut-serta dalam PILSUNG DEKAN FAKULTAS dan akhirnya beliau pemenangnya.

Pada saat itu FISIP-UI sudah menyelenggarakan paket BHMN atau BHP dengan struktur kepemimpinan yang relatif lebih rasional pula. Masalahnya apakah yang dimaksud dengan indikator RASIONAL dalam hal ini. Paling tidak, konsep rasionalitas itu menekankan pada ukuran-ukuran EFISIENSI dan EFEKTIVITAS dalam berbagai kegiatan keorganisasian. RASIONALITAS ITU MERUJUK PADA PROSES SEKULARISASI, bagian dari differensiasi dalam berbagai bidang pekerjaan organisasi (KEHIDUPAN KEDUNIAWIAN), dalam hal ini pengembangan MEKANISME PENDIDIKAN TINGGI di Universitas. Komuniotas akademik kampus UI, utamanya FISIP-UI sudah memenuhi salah satu kriteria kematangan dalam bidang pemikiran, integritas dan kompetensi intelektual civitas akademika mereka.

Adalah sangat mungkin kita menuju pada PILSUNG yang demikian itu dengan berbagai persyaratan yang memungkinkan kita penuhi. Kita hanya membutuhkan waktu dan persispan yang memadai, utamanya dari segi KOMPETENSI MASYARAKAT KITA, dari mana masukan (calon-calon mahasiswa) yang akan memenuhi penyelenggaraan pendidikan tinggi di daerah kita. KOMPETENSI itu mencakup aspek-aspek sosial-budaya, politik, dan ekonomi. PILSUNG pada tingkat Propinsi Aceh periode yang lalu, misalkan, dapat kita cermati melalui hasil penelitian BANK DUNIA ("Demokrasi Patronase") yang memperlihatkan betapa secara substantif PILSUNG itu tidak terjadi. PILSUNG hanya tampak dari segi RASIONALITAS (Instrumental) PRAKTIS saja, tidak menunjukkan dukungan PILSUNG DEMOKRATIS dari segi RASIONALITAS-SUBSTANTIF. Capaian PILSUNG yang demikian itu hanya akan menguntungkan pihak-pihak Pemilik Kapital Saja bersama Penguasa.

Demikianlah. Mudah-mudahan ocehan yang rada panjang ini ada manfaatnya.

Salam Ramazhan,

Saleh Sjafei
Alumni Departemen Sosiologi FISIP-UI